Jumat, 09 Juli 2010

Cyberspeace, Matinya Makna Sosial, Benarkah Itu?

Tulisan ini akan dilanjutkan di episod selanjutnya......

Minggu, 04 Juli 2010

REFORMASI MEI 1998, WAJAH BARU ORDE BARU

Oleh : Salahudin, S.IP

Pasca tahun 1998, Mei menjadi bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena bulan itu merupakan gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan otoriter Soeharto. Sampai saat ini kata reformasi menjadi populer dikalangan masyarakat dan birokrasi Indonesia. Reformasi lah yang dianggap sebagai kata kunci untuk memperbaiki tatanan bangsa menuju bangsa yang sejahterah, bersih, berwibawa, dan demokratis. Dibawa reformasi muncul sejumlah istilah baru diantaranya, Good Governance, Reinventing Governtment, Desentralisasi, The New Public Manajement, Good Coorporate Governance, Civil Society, Coorporate Sosial Responsibility. Sejumlah istilah tersebut adalah Suport System untuk percepatan agenda reformasi. Pertanyaannya, reformasi sudah berjalan satu dasawarsa lebih sudah sampai manakah? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis membagi reformasi kedalam tiga bentuk, diantaranya : reformasi prosedural, reformasi struktural, dan reformasi kultural, dengan demikian kita dapat menjawab pertanyaan diatas dan dapat memetakkan apakah reformasi Indonesia pasca tahun 1998 telah mewujudkan ketiga atau beberapa reformasi itu.

Reformasi Prosedural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran normatif atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju aturan demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik harus menjamin adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas politik. Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif dari identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada konteks ini, hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan reformasi prosedural itu. Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah banyak dirubah bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan (amandemen).

Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai sentralistik telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu dengan adanya desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin dibahas pada tulisan ini. Setidaknya dalam era reformasi ini secara prosedural terbersit harapan adanya repositioning pola relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat oleh Lukman Hakim dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di era reformasi, negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat untuk melakukan usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap negara.Pertanyaannya, rakyat yang mana yang dapat merasakan reformasi prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga model yakni rakyat kapital, rakyat politik kolektif, dan rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini reformasi prosedural hanya dinikmati oleh rakyat kapital (konglomerat) dan rakyat politik kolektif (Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat tani dan buruh) hanya menjadi penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan penguasa.

Reformasi Struktural, adalah tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik menuju birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif, penegak keadilan, transparantif, dan demokratis yang menegakkan istilah-istilah suport system reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini. Terbentuknya sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan Indonesia telah masuk pada reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra struktural yang memiliki fungsi pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan atau bersentuhan langsung dengan masyarakat atau pihak selain instansi pemerintah (lapis primary), biasanya anggota terdiri dari masyarakat atau profesional dan kedudukan sekretariat tidak menempel dengan instansi pemerintah konvensional. Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini lembaga non struktural berjumlah 12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi Nasional HAM, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan. Lembaga non struktural tersebut memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat atau institusi terkait, melakukan pemeriksaan (investigasi), mengajukan pernyataan pendapat, melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama dengan perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan mengawasi sesuai dengan bidang tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan rutin dan insidentil, Meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota. Pada umumnya, komisi-komisi tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan dan membantu masyarakat untuk memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki proses kerja lembaga negara, Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran birokrasi dibawahnya agar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) yaitu birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat.

Sekilas dengan adanya reformasi struktural yang demikian menyimpan harapan besar untuk membangun Indonesia dengan baik, namun ternyata harapan itu hanyalah impian karena sisten pemerintahan presidensial yang dianut Negara ini tidak menjamin independensi lembaga non struktural yang disebutkan tadi. Dalam sistem presidensial yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah Presiden, DPR, dan DPD. Buktinya, komisi- komisi yang ada adalah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bersama DPR dan DPD. Pada konteks ini, penulis pesimis komisi – komisi tadi bisa melakukan pengawasan dan penyelidikan dengan adil kepada lembaga yang membentuk dan mengangkat mereka. Kepesimisan penulis terbukti dengan banyaknya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh lembaga negara namun tidak ada kejelasan penyelesaian persoalannya. Kalaupun ada hanyalah kasus-kasus kecil sebagai bentuk hegemonik untuk mengatakan Indonesia adalah negara hukum dan demokratis.

Reformasi Kultural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, dan budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan agenda reformasi prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah komputer, reformasi prosedural dan kultural adalah hadwernya, reformasi kultural adalah sofwernya. Hadwer tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer yang baik.

Inilah yang menjadi persoalan besar reformasi Mei 1998 yang sudah berjalan satu dasawarsa lebih tidak berjalan dengan baik, bahkan menjadi lebih buruk sebelum terjadinya gerakan reformasi, korupsi semakin terbuka dan menggurita hingga ke jajaran pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, mafia hukum semakin merajalela, penggelapan pajak semakin tidak terbatas, berkuasanya politikus-politikus hitam yang setiap saat menjual suara rakyat, banyaknya partai politik yang melahirkan generasi bangsa yang tidak bertanggung jawab, gerakan sosial (LSM) semakin oportunis yang seringkali berselingkuh dengan penguasa dan pengusaha, gerakan mahasiswa semakin tidak tertata dengan baik bahkan mengarah pada gerakan bayaran, masyarakat semakin tidak percaya dengan institusi dan pemerintahan. Itu semua disebabkan karena reformasi yang terjadi hanya sebatas struktural dan prosedural, sedangkan reformasi kultural masih dibawah bayang-bayang yang tidak menentu. Ironisnya, yang mengisi reformasi prosedural dan struktural adalah kultur lama yang masih memiliki pola pikir dan cara pandang penguasa otoriter orde baru dan bahkan pola pikir kolonial belanda.

Amien Raias (2001) salah satu pelopor gerakan reformasi mengatakan ada empat kelemahan reformasi: Pertama, reformasi demokrasi kita belum berhasil mengembangkan moral politik bangsa untuk menjadi lebih dewasa, matang, serta memiliki civic competence. Kedua, proses reformasi dan demokratisasi kita belum berhasil menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance) serta efesiensi dan efektif (the new public manajement). Ketiga, reformasi politik dan demokratisasi belum mampu menghasilkan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan rakyat. Keempat, reformasi belum mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi (birokrasi).

Apa yang harus dilakukan untuk mengarahkan reformasi menuju yang lebih baik. Apakah kita harus tinggal diam hanya menonton drama elit politik. Apakah mungkin suport system reformasi yang diuraikan pada awal tulisan ini dapat berjalan dengan baik ditengah ketiadaan sofwer reformasi. Reformasi apa lagi yang harus kita lakukan, reformasi tahap kedua, tahap ketiga, tahap keempat. Reformasi apapun hanyalah reformasi bukan kesejahteraan dan kedamaian bangsa. Semua ini menjadi bahan renungan kita bersama untuk berfikir dan bertindak menuju yang lebih baik.
PERSELINGKUHAN PENGUASA DENGAN PENGUSAHA


….tanpa keberanian luar biasa akan sulit bagi indonesia untuk mengucapkan sayonara perbuatan hitam yang bernama koruspi itu”. (Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)


Ungkapan Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah diatas adalah bentuk dari sambutan positif terbitnya buku membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century karangan George Junus Aditjondro. Buku yang diterbitkan oleh penerbit Galangpress ini berujung pada kontroversi yang memanas antara pengarang dengan pihak- pihak yang merasa “dilecehkan” oleh buku tersebut. Aditjondro berusaha menguraikan dengan rinci dan detail bagaimana perselingkuhan penguasa dengan berbagai pengusaha dan lembaga- lembaga sosial, yang menurut Aditjondro diprakarsai oleh keluarga cikeas (keluarga cikeas diartikan sebagai keluarga SBY dan orang – orang dekatnya). Banyak kalangan menganggap, kehadiran buku tersebut adalah fitnah intelektual dan dianggap tidak ilmiah (irasional). Yang jelas kondisi bangsa saat ini, tidak jauh dari apa yang diuraikan dalam buku membongkar Gurita Cikeas tersebut. Politik kolusifitas penguasa dengan para elit kepentingan masih mewarnai bangsa Indonesia saat ini.

Persoalan Bank Century, menjadi awal dari pembahasan Buku membongkar Gurita Cikeas dibalik skandal Bank Century. Dalam buku tersebut, diungkapkan bahwa kolepsnya Bank Century disebabkan oleh adanya kepentingan politik SBY untuk pemilu 2009. Diuraikan, bahwa dua deposan terbesar Bank Century dianggap sebagai penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Mereka adalah Siti Hartati Murdaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Buedi Sampoerna. Dengan adanya hubungan tersebut, Aditjondro memastikan, kebijakan SBY dalam menyalurkan modal sementara yang berjumlah Rp. 6.7 triliun untuk menyelamatkan bank sencury hanya semata motif balas budi bukan karena ingin menstabilkan ekonomi negara.

Dalam buku membongkar Gurita Cikeas, George Junus Aditjondro memetakan intervensi yayasan terhadap politik SBY dalam meraih kemenangan pemilu 2009. Yayasan yang dimaksud oleh Aditjondro diantaranya Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Ketiga yayasan tersebut dianggap sebagai kekuatan politik SBY yang berada dibelakang Partai Demokrat. Pengurus yayasan – yayasan tersebut diisi oleh orang- orang dekat SBY dan para pejabat strategis Negara. Sehingga, menurut Aditjondro, keberadaan yayasan tersebut hanyalah sebuah langkah dalam melakukan manipulasi politik untuk kepentingan pribadi, sebagai institusi dalam menggalang jariangan sosial untuk kekuatan politik SBY, sebagai lembaga pengumpul modal untuk memperlancar politik SBY, dan sebagai lembaga pengalihan anggapan publik dalam realisisasi anggaran Negara.


Selain pemetaan hubungan keluarga Cikeas dengan beberapa yayasan, Aditjondro juga menguraikan hubungan keluarga SBY dengan berbagai konglomerat Indonesia yang dinilai memiliki peran ganda, yakni sebagai jabatan publik dan sebagai pengusaha. Sehingga, antara kepentingan publik dan kepentingan privat cenderung dimanipulasi agar saling menutupi. Barang publik (anggaran negara) dijadikan sebagai penopang kepentingan privat. Dan selanjutnya, hasil dari modal privat dijadikan sebagai kekuatan politik dalam mencapai jabatan publik, nantinya akan mendukung lagi keberlangsungan kepentingan privat. Dalam konteks ini, George Junus Aditjondro memberi contoh keberadaan Hatta Rajasa sebagai menteri Perhubungan yang memberi tender (proyek) raksasa pada Hartatnto Edhie Wibowo Komisaris PT. Power Telekom (Powertel), yang punya ikatan bisnis dengan adik M. Hatta Rajasa, Achmad Hafisz Tohir.

Dalam buku kontroversial tersebut, George Junus Aditjondro mengungkapkan bagaimana perselingkuhan Keluarga cikeas dengan makelar kasus (markus). Dalam konteks ini diberi contoh, hubungan Ani Yudoyono (istri SBY) dengan Artalita Suryani (ayin) pemakelar kasus BLBI (sekarang disorot sebagai tahanan yang menempati hotel). Menurut George Junus Aditjondro, meskipun Artalita ditahan, namun dia telah meloloskan sahabatnya, Syamsul Mursalim dari jeratan hukum, yang dianggap oleh Aditjondro sebagai hasil dari hubungan dekat ibu Ani dengan ibu ayin.

Dengan sejumlah temuan- temuan tersebut, mengundang kalangan Pro SBY tidak tinggal diam untuk melakukan klarifikasi apa yang dituliskan Aditjondro. Bentuk perlawanan dengan mengadakan debat, yang berakhir dengan pertengkaran antara Aditjondro dengan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Tidak hanya itu, pihak pro SBY juga mengeluarkan buku sebagai tandingan dalam menangkal isi buku Aditjondro. Rupanya para elit penguasa kita, masih seperti bocah yang tidak suka dikritik, dan hanya membutuhkan sanjungan manis dari pihak elit politik penjilat dalam mencari jalan menuju kekuasaan atau jabatan. Menurut hemat saya, kondisi politik yang demikian adalah sebuah tanda matinya demokrasi dan lahirnya mobokrasi hingga nanti munculnya penguasa oligarki (yang dipimpin oleh sedikit orang) dan berakhir pada lahirnya penguasa tirani (yang dimpipin oleh satu orang).

Saya sebagai peresensi tidak bisa membenarkan mana yang ilmiah antara Aditjondro dengan pihak keluarga Cikeas, yang pasti kondisi bangsa Indonesia makin memburuk, baik dalam sektor politik, ekonomi, maupun dalam sektor sosial. Saya sepakat apa yang dikatakan oleh Syafii Ma’arif di awal tulisan ini, bahwa Indonesia membutuhkan pemberani seperti Aditjondro dalam mengungkapkan persilingkuhan penguasa dengan berbagai pemiliki kepentingan pragmatis.
POLITIK PARA ELIT DI ERA PEMILU 2009
MENUJU INDONESIA BARU

Oleh Salahudin, S.IP


Setelah mengamati berbagai fenomena politik yang terjadi akhir- akhir ini, syahwat politik para elit ataupun masyarakat pada umumnya mulai menampakkan strategi dan taktik politik yang cukup menghebohkan dalam ruang publik. Orientasi dari strategik dan taktik politik para elit adalah memiliki orientasi yang sama yaitu ingin mendapatkan simpatisan sebagai pendukung eksistensi politik. Kondisi yang demikian adalah sesuatu hal yang wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Pertanyaannya adalah sejauhmana politk para elit berdampak pada kecerdasan politik masyarakat, dan sejauh mana berimplikasi pada perubahan bangsa menuju bangsa yang lebih baik dan mampu mensejahterkan masyarakat?

Pemilu adalah bagian dari nilai demokrasi yang berusaha menempatkan kompetisi antar individu, kelompok, dan komunitas- komunitas tertentu untuk mencapai kekuasaan politik, baik dalam tataran legislatif maupun eksekutif. Dengan demikian, akan menjadi menarik ketikan kita mengkaji bagaimana eksistensi politik para elit di era pemilu 2009. Dalam teori elit, ada berbagai macam elit diantaranya: elit birokrasi, elit partai poltik, elit media masa, elit agama, elit selebritis, dan elit oraganisasi kemasyarakatan. Dalam tataran praktiknya, sederetan elit tersebut hampir tidak dapat dibedakan. Pasalnya, elit agama ataupun elit yang lainnya diluar elit politik berlomba- lomba untuk masuk dalam tataran politik. Elit diluar elit politik berubah menjadi elit poltik. Fenomena tersebut akan menjadi yang wajar- wajar saja sebagai pengembang demokratisasi Indonesia. Menurut hemat penulis politik adalah bukan kasta atau dinasti yang hanya bisa dinikmati oleh orang- orang tertentu saja katakanlah para elit partai politik atau ilmuwan politik. Meskipun demikian, penulis ingin menegaskan elit yang masuk dalam politik adalah elit yang memiliki sense of responsibilty atas persoalan bangsa, memiliki komitmen, dan visi strategis yang berorentasi jangka panjang. Inilah elit yang diharapkan.

Namun persoalan lain menggambarkan, bahwa banyak para elit menjalankan politik pragmatis, politik oportunis, yang hanya melakukan mobilisasi massa untuk mencapai kekuasaan tanpa memiliki visi yan jelas. Dalam benak politik mereka (elit), kekuasaan adalah sebagai alat untuk melakukan pemberdayaan poltik pribadi, kelompok, afiliasi politik (parpol), dan sebagai investasi untuk politik masa depan. Fenomena politik tersebut menggambarkan aksi politik yang berdasarkan teori politik Machevelli, yaitu merebut kekuasaan dengan segala cara, termasuk mengatasnamakan agama untuk politik, mengatasnamakan suara rakyat untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Kondisi politik yang demikianlah yang mengancam keberlangsungan demokratisasi di Indonesia. Seharusnya, para elit harus sadar bahwa pemilu adalah momen politik untuk membangun bangsa dengan melalui pergantian kepemimpinan menuju pemimpin yang bermental progresif secara intelektual, moral, dan kepribadian politik yang berkualitas tinggi (high pilitic).

Meminjam istilah Amin Rais, politik moral adalah high politik. Dalam high politic ada tiga aspek yang harus dimiliki, diantaranya: Amanah, Pertanggungjawaba, dan Sosial. Politik Amanah adalah kesadaran individu atas kekuasaan yang merupakan mandat masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan atas segala konsekuensinya. Politik pertanggungjawaban adalah kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada suluruh umat. Politik sosial adalah kekuasaan untuk semua orang, bukan pribadi atau kelompok tertentu. Negara indonesia yang masih mengalami transisis demokrasi, kiranya akan menjadi wajib bagi semua kalangan, khususnya kalangan elit untuk menjalankan high politic, yang nantinya akan memperkokoh demokratisasi Indonesia menuju indonesia baru yang mencerminkan negara kesejahteraan (welfare state).
KOMITMEN POLITIK ELIT DAN PENCERDASAN
POLITIK MASSA DI ERA PEMILU 2009
Oleh Salahudin, S.IP


Pemilu 2009 sudah diambang pintu, para elit sudah menyuarahkan agenda politiknya untuk periode politik tahun 2009-2013, berbagai strategi dan wacana sedang digenjarkan mulai di pusat kota hingga dipingir desa dengan menggunakan berbagai macam instrument politik, misalnya media massa baik elektronik maupun cetak, organisasi kemsayarakat baik kulturan maupun struktural, organisasi politik (partai politik) baik wajah baru maupun wajah lama. Dalam Negara Demokrasi, apapun yang dilakukan oleh para elit untuk pemilu 2009 adalah hal yang wajar- wajar saja selama tidak bertentangan dengan rule of the game (peraturan hukum). Namun akan muncul pertanyaan yang besar dan harus dijawab oleh semua kalangan, yaitu Apakah Pemilu 2009 akan membentuk para elit untuk sense of responsibility atas persoalan bangsa dan mengarahkan bangsa menuju bangsa yang makmur dan sejahtera baik secara politik, ekonomi, maupun budaya?

Demokrasi adalah sistem yang sudah diakui dihampir seluruh Negara di dunia ini setelah mereka mengalami kenyataan totalitarianisme. Dilihat dari sudut pandang normatif, demokrasi bagi Robert A. Dahl adalah sistem yang seharusnya secara mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya. Sedangkan jika dilihat dari sisi emperik, maka demokrasi bagi Joseph Schumpeter adalah sebuah sistem dimana para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu perodik. Didalamnya para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan dimana hamper semua orang dewasa berhak memilih. Sehingga dari pengertian ini, Imam Hidayat menyimpulkan bahwa demokrasi mengandung dua dimensi penting, yaitu kompetisi dan partisipasi. (Imam Hidayat;2002).Kompetisi yang dimaksud adalah strategi para warga Negara yang mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilu untuk memperebutkan kekuasaan politik. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai partisipasi politik warga dalam proses politik.Warga Negara yang mencalonkan diri sebagai kandidat, biasanya berasal dari kalangan elit, misalnya elit partai politik, elit media, elit agama (tokoh agama), elit pengusaha, dan elit penguasa (birokrasi). Sedangkan masyarakat umum yang lainya menjadi basis massa bagi elit. Berdasarkan base prespektiif tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi adalah sistem, pemilu adalah bagian dari nilai demokrasi yaitu untuk mewujudkan persamaan dan keadilan politik. Sedangkan elit adalah agent yang mengoperasionalisasikan sistem tersebut, guna mengarahkan pemilu menuju bangsa yang makmur, sejahterah, dan berkeadilan.

Pemilu merupakan sarana dan wahana dalam menyampaikan pesan- pesan politik baik oleh partai maupun kandidat yang mencalonkan diri. Dalam tinjauan klasik, proses komunikasi politik merupakan kegiatan komunikasi linier yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan secara integral. Konsep komunikasi politik yang paling sering menjadi referensi dalam dekade sekarang ini adalah formulasi Laswell, yaitu suatu formula yang dikemukakan oleh seorang sarjana politik Amerika, Harold D. Lasswel yang rumusannya berbunyi: Who Says What Channel To Whom and Whait What Effect. Formula tersebut diinterpretasikan oleh Joko Susilo (2006;36) sebagai berikut: Who merujuk kepada komunikator, Says What adalah pesan yang disampaikan, Channel merupakan saluran yang digunakan, To Whom merupakan komunikan atau khalayak/ target audience yang dituju, dan Effect adalah hasil atau akibat yang diharapkan dari proses kegiatan komunikasi yang dilakukan. Dalam proses komunkasi politik inilah terjadi interaksi antara elit dan massa. Elit berusaha untuk meyakinkan masa, bahwa mereka (elit-red) memiliki visi- misi yang berpihak kepada kepentingan massa.

Saat ini belum bisa kita lihat secara konkrit komitmen politik para elit, namun secara marketing politik yang dilakukannya, setidaknya kita sudah bisa meraba dan merasakan bagaimana komitmen para elit yang mencalonkan diri sebagai kandidat politik untuk periode 2009-2013. Banyak para elit kita saat ini yang menunjukan komitmenya melalu media massa dengan menampilkan profil dan menggunakan pendekana grassroot, yaitu mewujudkan masyarakat miskin sebagai tujuan politik. Tujuan politik tersebut, seolah- olah menyampaikan kepada publik, bahwa pemilu 2009 adalah momentum untuk menghapus masyarakat miskin dan mewujudkan masyarakat yang sejahterah. Sekali lagi, ini adalah gambaran politik para elit yang belum bisa dipastikan secara riil. Yang pasti untuk saat ini semua kalangan khususnya masyarakat harus bisa menyikapi proses politik yang sedang berjalan dengan arif dan bijaksana. Masyarakat harus berpolitik secara objekiif dengan mengdepankan prinsip rational choices, masyarakat harus bisa memilah dan memilih pesan politik yang disampaikan oleh para elit.

Proses politik yang digambarkan tersebut mengharuskan adanya politic edication yaitu pencerdasan politik masyarakat. Dalam konteks ini peran intelektual sangat diperlukan baik intelektual birokrasi, akademisi, media massa, maupun lembaga- lembaga yang intens dalam mengkaji dan meneliti yang berkaitan dengan politik kemasyarakatan. Hal utama yang dilakukan diantaranya: melakukan sosialisasi politik, komunikasi politik, dan pendidikan politik dengan melalui kegiatan- kegiatan yang bersifat pelatihan dan advokasi. Rupanya proses politik pemilu 2009 membutuhkan kontribusi dari semua kalangan yang bertanggung jawab untuk melahirkan pemimpin dalam mengarahkan bangsa menuju bangsa yang makmur dan sejahterah.
MENUJU PRIVATISASI PENDIDIKAN

Oleh Salahudin, S.IP

Kontroversi Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan antar berbagai element adalah sesuatu hal yang wajar terjadi dalam proses pengambilan kebijakan publik dalam negara demokrasi. Kontroversi adalah bagian dari warna demokrasi. Munculnya kontroversi yang berkaitan dengan produk hukum, tentu dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap produk hukum tersebut. Hal ini jua yang melahirkan kontroversi atas keberadaan Undang- Undang BHP. Undang- Undang tersebut dianggap meliberalisasikan pendidikan, memprivitsasikan pendidikan, mitos otonomi, menciptakan ruang diskresi lembaga pendidikan untuk membentuk kebijakan tanpa ada intervensi/kontrol dari pemerintahan (negara), yang akhirnya merugikan masyaraat kalangan bawah.

Undang- Undang BHP dikatakan privatisasi pendidikan, karena Undang- Undang tersebut menempatkan pendidikan bukan sebagai unit pelaksanaan teknis dari departemen pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi pemerintahan diputus habis, badan hukum pendidikan masing- masing memikirkan atau mengambil langkah kebijakan yang sesuai dengan keinginan dan kondisi lembaga. Misalnya dalam penetapan Kebijakan yang terkait dengan Uang Pembangunan, yang selama ini besaranya tergantung dari kebijakan negara, namun dengan kebijakan tersebut lembaga pendidikan tidak lagi menunggu instruksi Negara. Hal inilah yang menciptakan image dikalangan publik, bahwa undang- undang tersebut adalah bagian dari langkah negara untuk meliberalisaskan pendidikan, karena tidak menutup kemungkinan dengan otonomisasi, lembaga pendidikan akan dengan bebasnya membentuk dan mengarahkan lembaga menuju lembaga profit oriented bukan performance education, negara tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol proses penyelenggaraan diberbagaia lembaga pendidikan.

Negara harus sadar dan mau belajar dari kebijakan otonomi daerah, pasca reformasi hingga hari ini belum membuahkan hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan awal otonomi daerah. Berdasarkan berbagai data, otonomi daerah hanya menciptkan kesenjangan daerah, tingginya angka pengangguran, tingginya angka kemiskinan, KKN di aras lokal semakin meningkat. Tidak menutup kemungkinan, Undang- Undang BHP akan menciptakan yang demikian, misanya persainga lembaga pendidikan yang tidak sehat, diskriminasi pendidikan, memberikan ruang birokrasi lembaga pendidikan untuk memelihara budaya KKN.

Pemerintahan Indonesia terlalu euforia dalam membentuk kebijakan. Pasalnya, berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan tidak pernah mempertimbangkan kondisi dan kultur Warga Negara. Otonomisasi pendidikan akan menjadi hal yang wajar- wajar saja dalam negara maju, namun akan menjadi dilema dalam negara berkembang, seperti Indonesia, Karena masih banyak keterbatasan yang dimliki, misalnya dalam hal sumber daya manusia, fasilitas teknologi yang belum memadai, KKN yang membudaya dalam sektor birokrasi. Hal utama yang perlu dilakukan adalah bagaimana pemerintahan (negara) mangambil posisi yang kuat terutama dalam hal pengaturan pendidikan. Pengaturan pendidikan tentu mengedepankan nilai- nilai kemanusiaan, kebudayaan, dan nilai- nilai ketuhanan. Sehingga melahirkan manusia yang cerdas secara intelektual, secara sosial, dan secara keagamaan.
ARAH PERJUANGAN AKTIVIS
PASCA WISUDA

Oleh : Salahudin, S.IP


Ara perjuangan mahasiswa pasca wisuda tergantung dari apa yang ditempuh pada waktu ia kuliah. Mahasiswa aktivis selalu terjun kedunia politik praktis yang notabene menumbuhkan karirnya sebagai mahasiswa aktivis. Tetapi yang perlu disadari tidak semua mahasiswa aktivis terjung kedunia politik hal ini depengaruhi oleh faktor budaya dan lingkungan masyaraka disekitarnya. Dan kalaupun ada mahasiswa aktivis yang terjung kedunia politik praktis tidak lepas dari perjuangan untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan umum (umat). Peran aktivis hanya sebatas mencari ideologi oportunisme yang ujung- ujungnya kekuasaan dan keuntungan materialisme. Sehingga tidak heran kita melihat perkembangan ideologi kapitalisme begitu drastis. Aktivis (mantan mahasiswa) aktifitasnya dalam politik praktis membutuhkan wadah atau tempat untuk membangun wacana politiknya seperti LSM,Ornop, Parpol dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan terakhir “adakah” kontribusi yang diberikan oleh aktivis terhadap kehidupan masyarakat?.

Kalapun kita lihat dari istilah “politik praktis” sudah barang tentu para aktivis lebih menekankan untuk membangun masyarakat politik bukan civil society (masyarakat madani). Masyarakat politik adalah masyarakat yang lahir dari masyarakat alamiah yang mementingkan kebebasan dalam mencari dan merebut kekuasaan. Disini, beda dengan istilah civil society yang dimana masyarakat dirancang dalam keorganisasian yang akuntabel dalam kehidupan bernegara. Aktivis yang mengenyam dunia pendidikan ditingkat perguruan tinggi lebih tau akan pergolakan kehidupan masyarakat karena mereka mempunyai teori untuk memprediksikanya. Tetapi kenapa aktivis tidak mampu mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan permasalah (konflik) yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, jawabannya karena aktivis lebih membangun political behavior dalam tatanan masyarakat ketimbang social behavior.

Pada saat kuliah jiwa antusianisme aktivis dalam merespon permasalahan publik sangat berkobar bagaikan api. Teriakan dan gerakan aktivis sangat lantang bahkan ditakuti oleh para birokrasi. Tapi ketika keluar dari dunia kemahasiswaan suara aktivis hilang dan kalaupun ada hanya suara oportunisme. Aktivis telah dihegomoni oleh paradigmanya sendiri dan dari pihak elit politik. Akhirnya aktivis dijadikan alat oleh elit politik dalam mencari kekuasaan atau mempertahankannya. Lebih parah lagi,tidak jarang aktivis bersifat premanisme dalam perpolitikan yang rakus dengan jabatan dan kekuasaan yang tidak menghiraukan kata “tidak” bahkan “lawan”, segala cara ditempuh demi mencapai tujuan. Moral politik dijadikan hitam putih dalam retorika politik dan agama dijadikan landasan retorika politik “kotor”. Belum hilang dari ingatan kita sosok aktivis Akbar Tanjung yang terjebak dalam kasus korupsi, dan banyak aktivis-aktivis lain yang dijadikan sebagai refleksi betapa rusaknya moral aktivis pasca wisuda.

Menurut saya sangat sulit untuk menemukan aktivis sejati pasca wisuda yang gerakannya sesuai komitmen awal untuk membina masyarakat madani (civil society) dalam membangun bangsa. Aktivis juga manusia yang cenderung lemah dalam melawan politik dan akhirnya politik yang mengarahkan aktivis bukan aktivis yang mengarahkan politik. Ibnu khaldun pernah mensyinalirkan politik merupakan puncak syahwat manusia. Dimata masyarakat aktivis merupakan sosok intelektual yang akan mengarahkan roda perpolitikan dikanca publik. Aktivis masuk dirana-rana partai politik yang mencari jalan menuju kekuasaan dan pada kesempatan yang sama aktivis menghegomoni masyarakat melalui keintelektualnya. Produk dari perjuangan aktivis adalah nampaknya politisi- politisi hitam ditatanan lembaga negara terutama dalam lembaga legislatif. Maka tidak heran diera reformasi dalam tatanan lembaga negara Indonesia masih diwarnai oleh politisi- politisi hitam. Dialektika diatas merupakan fakta gerakan aktivis pasca wisuda. Pada hakekatnya perjuangan aktivis bersifat kontinu bukan hitam putih.Aktivis harus mampu membangun konsep masyarakat madani (civil society) untuk melawan depotisme negara.